Tuesday, April 10, 2007

Pembangunan, Dalam Dialektika Modernitas Versus Posmodernitas

oleh
Priyo Sudarmanto

Abstract
If development in the perspective modernization, human to be centrum all of being. With their rationality, logic, scientific method, human can change the world. With their power to be subject and subordinating the other human, nature, and world. The first time modernization want be the new age, prosperous, happiness for human, but the ending is chaos and catastrophe. Critique of this weakness is come from post modernity.
Keyword
Modernity: rational, logic, scientific, quantitative, statistic, grand narrative, universal
Post modernity: eclectic, syncretic, flexible, affirmative, permissive, paradox, irony

Pendahuluan
Dengan perjalanan dari waktu ke waktu, dunia semakin berubah. Entah itu melalui evolusi ataupun melalui revolusi, dunia terus bergerak dan berubah. Perubahan tersebut melalui pola linear yang bertahap dan teratur ataupun melalui pola sirkuler dengan pengulangan mirip masa lalu namun dengan variasi baru, dan yang terakhir adalah matrikuler yang kontradiktif, acak, chaos dan semrawut.
Perubahan tersebut ditunjukkan lewat pembangunan. Pembangunan bisa dilihat dari sudut pandang pembangunan fisik, ditunjukkan dengan semakin berkembangnya budaya benda, teknologi, industri, tata ruang kota, infrastruktur, dan sebagainya. Pembangunan non fisik ditunjukkan dengan semakin kompleksnya tata nilai, norma, aturan, dan hukum.
Dalam mendukung pembangunan tersebut, banyak ilmuan yang mengembangkan suatu teori untuk menjelaskan, mengembangkan, mengidealkan bahkan skeptis dengan strategi atau paradigma pembangunan tertentu melalui dialog akademis.
Seperti kita ketahui realitas kontemporer saat ini, dunia semakin berlari kepada perubahan besar kehidupan umat manusia. Banyak yang tercipta namun juga banyak yang terhancurkan, banyak transformasi namun juga di barengi dengan ekstasi.
Teori-teori pembangunan seperti contoh teori modernisasi, globalisasi, kapitalisasi, industrialisasi, dependensi, teori pertumbuhan, dan sebagainya, bisa menjadi hegemoni yang hanya membawa pada kesadaran palsu (false consiousness) apabila tidak secara cermat di kritisi.
Tulisan ini hanya melakukan perbincangan atau dialogis dua versi pandangan dalam pembangunan. Tentu saja dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing versi. Penulis hanya memaparkan inilah wajah modernitas dan di sisi lain posmodernitas dalam menjelaskan pembangunan, dan tentu saja dengan segala paradok yang di sandang. Kita boleh bermimpi tentang kesempurnaan, namun kesempurnaan sedang menjadi dan tidak pernah terjadi.

Pembahasan
Istilah pembangunan menjadi tren pasca perang dunia II, namun istilah pembangunan yang merujuk baik kepada kemajuan, modernisasi, teknologi maupun pertumbuhan sebenarnya telah berlangsung sejak abad ke 17 di Barat. Menurut Walt Rostow, yang membedakan dunia pasca revolusi industri dari dunia sebelumnya adalah diterapkannya ilmu pengetahuan dan teknologi secara sistematis, reguler, dan progresif pada sistem produksi barang dan jasa. Yang kesemua itu adalah usaha untuk mempermudah pekerjaan, tindakan terhadap alam dan memuaskan kebutuhan manusia untuk tetap eksis. Momentum renaissance tersebut merupakan datangnya pencerahan dan sekaligus titik kritis sejarah manusia, dimana dinamika sosial baru menggabungkan sistem produksi ekonomi dengan metode ilmu pengetahuan modern ditambah ekspansi pasar. Sistem produksi ekonomi yang tidak pernah terpuaskan, ilmu pengetahuan modern yang arogan dan ekspansi anti humanis.
Ide modernisasi Gunner Myrdal untuk pembangunan Asia Selatan harus berakar dari nilai-nilai pencerahan Barat dalam bentuk hasrat menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan produksi material. Sedangkan Max Weber mengutarakan modernisasi dengan mengembangkan institusi-institusi dan transformasi kultural yang mewujudkan niali-nilai seperti efisiensi, kehematan, kerapian, kerajinan, ketepatan waktu, sikap rasional dalam pembuatan keputusan yang terbebas dari tradisi, adat, dan kesetiaan kelompok. Yang sementara itu sikap sinis Jawarahl Nehru menyatakan ujian bagi kemajuan sebuah negara adalah seberapa jauh negara itu menggunakan teknologi modern. Terlihat bahwa terjadi pemaksaan terhadap pengkiblatan pada Barat (eurocentrise) yang mengklaim lebih beradab agar dapat melakukan pembangunan.
Marshall Sahlins, seorang ahli antropologi membandingkan antara pembangunan modern dengan kehidupan masyarakat primitif aborigin, dimana mereka memburu dan mengumpulkan makanan 4 – 5 jam, tetapi lebih menikmati kecukupan materi dan sosial dari pada buruh industri modern yang bekerja 8 – 10 jam per hari dengan waktu senggang untuk pekerjan rumah yang menjemukan. Hal senada dikatakan oleh sosiolog Hari Juliawan, bahwa masyarakat pemburu dan meramu hanya memakai waktu 4 – 5 jam untuk cari makan dan sisanya untuk bersantai dan bersenang-senang yang merupakan ciri masyarakat makmur. Bagi Claude Levi Strauss, kompleksitas sosial dan pembangunan suku aborigin merupakan hasil pengalaman keterpisahan (isolasi dengan dunia luar). Pembangunan bisa saja terjadi tanpa harus mengadopsi strategi pembangunan dari luar. Justru dengan begitu mereka akan lebih mandiri, kreatif, dan inovatif. Bukan lalu mengunggulkan modernisasi dan melecehkan peradaban eksotis lokal, suku asli yang dianggap, aneh, tidak sempurna, dan barbar. Menurut Sahlin, zaman paleolitikum dan neolitikum justru tidak terjadi kelaparan proposional maupun absolut, namun zaman kini justru melembaga kelaparan tersebut. Kemiskinan diproduksi justru lewat proses pembangunan ekonomi. Orang miskin hanya memiliki sedikit harta tetapi tidak miskin.
Filsafat modernisasi dipelopori oleh Descartes yang kemudian di ikuti oleh Hegel. Namun semangat modernitas itu bukan sekedar pengetahuan melainkan juga kekuasaan dan kemakmuran. Sain pragmatis membuat manusia menjadi tuan dan pemilik alam melalui inovasi dan diskoveri. Hal itu juga di dukung oleh Francis Bacon dengan konsep kekuasaan manusia atas segalanya. Kebenaran bukan hanya kepastian, tetapi juga berakar dari dalam subjek dan dicari dengan metode yang benar, analisis matematis, sehingga terjadi kemutlakan universal. Arogansi rasionalitas tersebut justru membawa pada sikap faustian, yaitu pengingkaran terhadap alam, dimana dunia didasarkan sebagai objek yang diperuntukkan oleh subjek yang mampu berfikir dan berhitung.
Pendekatan yang di tanamkan oleh Descartes tak urung mengubah mind set masyarakat saat ini dengan sebuah sistem satu tujuan global. Pemilikan alam, pendudukan atas bumi dengan ketidak terbatasan penemuan untuk mengubah alam menjadi sumber komoditas. Bagi Kenichi Ohmane, faktor-faktor yang mengoyak-oyak struktur negara bangsa hingga tak lagi berbatas sebagai mana yang lalu adalah karena industria, investasi, individu dan informasi yang disebut globalisasi.
Peran kritis daya nalar dalam suatu dunia secara rasional diarahkan pada menaklukkan dan pemanfaatan alam. Tak hanya tangan namun juga otak memiliki pengaruh besar dengan perubahan dunia. Penggunaan akal manusia dengan cara yang lebih baik dan lebih sempurna dalam memuaskan rasa ingin tahu, dan segala pertolongan rasio dalam memahami sesuatu. Namun bukan murni rasa ingin tahu ilmu pengetahuan yang bebas nilai, melainkan juga di tunggangi oleh kepentingan untuk mengendalikan alam dengan tindakan tertentu dan untuk kemakmuran manusia itu sendiri, tanpa mempertimbangkan ekses-eksesnya kelak. Di sini terlihat bahwa ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, melainkan di tunggangi oleh keinginan untuk melakukan penaklukan dan penundukan alam.
Jatinder K. Bajaj mengkritik Bacon bahwa modernitas adalah pandangan mengenai dominasi manusia atas sesamanya. Bacon melakukan penaklukan dan dominasi terhadap dunia non Barat, yaitu perbedaan antara kehidupan Eropa dan non Eropa yang dibedakan atas oposisi biner seperti yang baik/ yang buruk, beradab/ tak beradab, modern/ kuno, rasional/ irasional, bermoral/ barbar dan seterusnya yang dilihat hanya dari kaca mata sepihak khas ethnosentrisme dan eropasentrisme. Dalam tulisan Bacon manusia adalah tuhan bagi manusia yang lainnya. Sedangkan pengetahuan untuk membangun hanya dapat diperoleh dengan mengakses dunia luar, pergi keluar negeri, menimba ilmu pengetahuan di sana untuk kemudian di terapkan di sini (dalam hal ini ke Barat). Jika pengetahuan dapat di gunakan sebagai alat kekuasaan, maka mempunyai potensi yang hebat sekali bagi kejahatan politik.
Pembangunan teknologi dan ekonomi bukanlah anak ilmu pengetahuan modern, justru sebaliknya lebih dianggap sebagai jongos. Teknologi yang berorientasi ekonomi adalah pendorong evolusi ilmu pengetahuan di Barat. Ilmu pengetahuan adalah hasil sampingan dari teknologi. Namun proyek sejarah tersebut bukanlah pengetahuan, melainkan penguasaan alam dan umat manusia lainnya.
Keinginan berkuasanya modernitas di konter oleh adanya ilmu-ilmu gaib yang notabene pre modern. Lewis menyatakan bahwa kelahiran ilmu pengetahuan dan era modern sering di salah tafsirkan, khususnya oleh orang-orang yang mengklaim sihir dan klenik merupakan sisa-sisa abad pertengahan yang harus di sapu bersih. Keduanya lahir dari rangsangan yang sama yaitu kekuasaan, karenanya sihir dan ilmu pengetahuan yang diterapkan adalah sama.
Bagi Keynes, satu-satunya orang yang memiliki dan menganalisis manuskrip Isaac Newton. Temuan-temuan Newton bukan orisinil, bohong jika orang menyatakan Newton ilmuan modern, hanya kebetulan saja dia pewaris manuskrip kuno (mantra) yang notabene magis atau klenik. Hal itu di amini oleh Robert Boyle dan John Locke yang menyatakan penyelidikan kimia itu tidak melalui semangat rasio maupun trial and error. Menurut Lewis, apa yang terjadi adalah kehendak untuk berkuasa, mengontrol, dan mendominasi semua aspek kehidupan nyata. Dalam ilmu pengetahuan posmodern melalui pencarian kebenaran dan wawasan spiritual pada sifat dasar materi, penjaringan jejak kekuatan magis pada alam, investigasi teknik untuk mendapatkan kunci pengubah materi demi kemanusiaan.
Berbeda dengan hal itu Henri Saint Simon berpandangan lebih luas. Memang kehendak berkuasa melekat pada setiap diri manusia, menjadi problem utama, akar peperangan, konflik, kekerasan, perselisihan. Tetapi nafsu yang memiliki dua sisi, yaitu sisi yang hendak berkuasa dengan sisi yang lain yang untuk mengelola. Maka pembangunan yang berwujud tindakan penguasaan alam akan berubah arah. Saint Simon hidupnya di abdikan untuk pembangunan, dia berangan-angan tentang sebuah pengorganisasian masyarakat yang dapat menyalurkan sifat agresif manusia ke dalam proyek-proyek pembangunan dan ke dalam pertumbuhan industri. Membayangkan pemerintah sebagai ekonom dan politikus akan di gantikan oleh teknokrat, sedangkan pemikiran instrumental digantikan oleh ilmu pengetahuan tentang produksi. Karena itu perlu koordinasi yang terarah dan terpusat yang menatur seluruh sistem secara keseluruhan. Hidup harus dengan kerja keras, tidak ada waktu untuk bermalas-malasan dan hidup harus sedarhana. Saint Simon menjadi figur panutan bagi pemikir seperti Adam Smith, Goethe, maupun Isazc Pereire. Banyak karyanya yang bersejarah seperti ide unifikasi bangsa-bangsa Eropa, pembangunan terusan Suez bersama Ferdinand de Lesseps, Bank pemersatu seperti yang di tulis Frederick Hayek, gagasan modernisasi yang menggunakan istilah Rostow sebagai penggiat pembangunan. Aguste Comte sebagai sekretaris pribadi Saint Simon menyumbangkan konsep positivistik, yang menempatkan ilmu pengetahuan empirik dan kerja yang di organisir secara rasional sebagai tujuan dan isi keberadaan manusia yang mirip dengan semboyan “tatanan dan kemajuan” milik Hegel.
Kemaharajaan manusia atas segala hal pada umumnya berakar dari kehendak untuk berkuasa dan mendominasi. Hal itu di tunjukkan dengan dominasi sebagian individu atas individu yang lain, dominasi masyarakat Barat atas masyarakat yang lain, masyarakat Barat yang eurocentris dan masyarakat lain yang orientalis, dalam kaca mata Edward Said.
Dostoyevsky justru merasakan kegelisahan modernitas, dimana bagaimanapun besarnya kebebasan dan berfikir, perasaan takut itu merayap pelan-pelan dalam diri, penaklukan terhadap tradisi kuno dilakukan agar kita tidak kalah dan takluk pada kenyataan, namun betapa bangganya ketika modernitas menciptakan dekorasi kolosal yang membuat percaya diri atas kemenangan dan kejayan. Di sisi lain justru bayang-bayang mengenai berbagai masalah yang timbul bersemayam dalam jiwa yang angkuh.
Bagi Max Weber, rasionalitas, kecermatan dan ke efektifan akan menggantikan etika tradisional. Pembangunan senantiasa di rumuskan ulang sesuai dengan angin politik yang sedang berhembus. Dalam ide McNamara, yaitu pemberantasan kemiskinan, yang kemudian berubah setelah di bawah ide Clausen, menjadi menekan negara miskin agar membayar utang melalui slogan “pembangunan berkelanjutan.” Bagi Weber, rasionalisasi dunia memungkinkan terwujudnya tatanan ekonomi modern yang begitu luas sekaligus sebuah kandang besi yang mengekang kebebasan manusai. Itu sebenarya adalah demokrasi yang anti demokrasi, kebebasan dalam keterkekangan, egaliter dalam otoriter dan seterusnya.
Robert Moses adalah tokoh pembangunan terbesar yang di miliki Amerika. Berapa banyak proyek-proyek besar yang mampu dia kerjakan. Namun pembangunan itu untuk siapa?, didirikannya apartemen-apartemen ketika di sekelilingnya masih banyak daearah-daerah slum, mall, plasa, super market, di tengah-tengah puing-puing, gubuk, sampah orang-orang terpinggirkan. Sebenarnya yang dilakukan Moses bukan suatu pembangunan melainkan justru inefisiensi ekonomi. Pembangunan jalan tol, bendungan dan sebagainya dengan cara mempecundangi tanah adat suku Indian, mempecundangi orang-orang kulit hitam dan lebih berpihak pada kepentingan kulit putih. Hal ini dibuktikan dengan kompensasi yang tidak sepadan, suatu perendahan terhadap hak milik orang lain. Apa yang dilakukan Moses adalah simbiosis antara pembangunan dan pengrusakan. Rasionalitas Weberian pada akhirnya justru memberontak dan mengahancurkan nilai-nilai dan tujuan-tujuan mereka sendiri.
Hasil sosial berupa kesenjangan antara tindakan manusia dan akibat dari tindakan itu adalah ciri khas dari moderniatas yang terjadi dimana-mana, menciptakan dunia yang semakin terorganisir hingga tindakan manusia menjangkau di luar penglihatan moral. Masalah mendasar modernitas adalah pembangunan yang semula di tuntut sebagai tujuan absolut ternyata tidak sesuai harapan. Hal ini di amini oleh Max Horkheimer yang melihat bahwa pembangunan nuklir semakin bermutasi menjadi ancaman perang nuklir. Demikian pula dengan Martin Heidegger yang menyatakan bahwa kerangka dinamika sosial ekonomi modernitas, merobek masyarakat beserta tanah, hutan, keterampilan, teknologi dan kosmologi mereka dari kerangka budaya asal yang kemudian rekontruksi bagi pembangunan yang di rasionalisasikan. Heiddeger melihat seolah-olah manusia mengagungkan diri sendiri menjadi tuhan di muka bumi, yang menurut Frederick Nietzsche Tuhan telah mati digantikan oleh manusia-manusia super (superman) yang mengendalikan, mendominasi, menundukkan, merekayasa alam, dunia beserta isinya.
Pengertian kemajuan masa depan yang terpadu dan universal, berbasis pada teknologi, pembangunan, dan transformasi secara terus menerus terhadap alam dan masyarakat sebagai bahan mentah bagi pertumbuhan dan keuntungan tampak problematik. Proyek modernitas semakin diserang oleh konsekwensi alam yang tidak dapat di kontrol dan tak di harapkan serta juga oleh penyakit-penyakit sosial. Era dimana cara pemujaan objek di buat sesuka hati, kemajuan diperantarai metode ilmu pengetahuan, ini adalah era sistem, lembaga, mekanisme, statistik, ini adalah era ideologi, doktrin, intepretasi kenyataan, sebuah era yang bertujuan untuk mendapatkan sebuah teori universal mengenai dunia, dan karena itu menjadi sebuah kunci universal untuk membuka kemakmuran dunia.
Vaclav Havel yang mengkaji tentang komunisme, yaitu pengorganisasian semua kehidupan sesuai dengan satu model tunggal, dan mengarahkannya pada pengelolaan masyarakat yang terencana dan terpusat dengan mengabaikan apa yang di tuntut dan tidak di tuntut oleh kehidupan. Kegagalan komunisme yang notabene juga modernitas ketika dunia secara objektif dapat diketahui, dan bahwa pengetahuan yang di capai dapat di samaratakan secara mutlak telah sampai pada suatu krisis final.
Sosialisme ialah suatu ideologi yang mengagungkan kapital sebagai milik bersama seluruh masyarakat atau milik negara sebagai alat penggerak kesejahteraan manusia. Namun berawal dari pemerintahan demokrasi rakyat kemudian berubah menjadi diktatur merupakan awal keruntuhannya. Sosialisme di motori oleh Karl Marx dengan teori materialisme, kemudian di kembangkan oleh Althusser dengan teori struktural, Antonio Gramsci dengan teori hegemoni, Andre Gundre Frank dengan teori ketergantungan, Horkheimer, Marcuse, dan Theodore Adorno dengan teori kritis, yang kesemuanya ingin membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan penghisapan, ingin menelanjangi musuh bebuyutannya yaitu kapitalisme.
Di pihak lain kapitalisme adalah suatu ideologi yang mengagungkan kapital milik perorangan atau milik sekelompok kecil masyarakat sebagai alat penggerak kesejahteraan masyarakat. Ideologi ini dimotori oleh Adam Smith dengan perumusannya bahwa kemakmuran bangsa-bangsa akan tercapai melalui ekonomi persaingan bebas, bebas dari campur tangan negara. Dalam teori pembangunan, kapitalisme dikembangkan olek Keynes dengan teori campur tangan negara dalam ekonomi, khususnya dengan menciptakan kesempatan kerja, menetapkan tingkat suku bunga, tabungan dan investasi, Rostow dengan teori skema lima tahap, Harrold Domar dengan teori tabungan dan investasi, Mc Clelland dengan nAch, serta Ronald Reagen dan Margareth Techer lewat teori neo liberaisme atau globalisasi pasar bebas. Walaupun kapitalisme masih berdiri kokoh sampai saat ini, namun masih menyisakan banyak problematik baru bersamaan dengan proses pembangunan itu sendiri yang semula menjadi utopianya.
Kemenangan kapitalisme semakin di kukuhkan oleh tesis Franchis Fukuyama dalam the end of history and the last man, bahwa evolusi akhir ideologi manusia adalah demokrasi liberal dengan kapitalisme sebagai cara produksi yang paling efektif, produktif dan efisien, kekuasaan tertinggi manusia adalah konsumerisme. Dalam kapitalisme akhir, kesadaran manusia tidak lagi dipersatukan oleh ideologi kapitalisme dan sosialisme, tetapi oleh konsumerisme dan daya tarik gaya hidup, manusia tidak peduli pada ideologi kapitalisme dan sosialisme tetapi tetarik pada gaya hidup.
Tak bisa di pungkiri bahwa teori modernisasi merupakan teori yang di bangun dalam kontruksi kepentingan kapitalis. Menurut JW. Schoorl, proses modernisasi dan terwujudnya bentuk-bentuk masyarakat modern dengan sendirinya tidak mungkin bebas nilai. Teori modernisasi dibangun atas landasan kapitalisme maka nilai yang mendukung modernisasi jelas bernuansa kapitalistik. Menurut Fred W. Riggs menyebut proses modernisasi sebagai westernisasi, dengan komponen-komponennya yang terdiri dari industrialisasi, demokrasi dan ekonomi pasar. Teori-teori modernisasi dan teori pembangunan dikembangkan di Barat yang secara historis merupakan negara-negara yang merintis dari nol dalam evolusi pembangunannya. Namun teori tersebut kemudian di introduksikan terhadap negara-negara miskin atau berkembang lainnya yang secara historis berbeda. Terdapat semacam pemaksaan ideologis akan kesatuan ide yang sama, bahwa teori modernisasi dan teori pembangunan bisa memecahkan problematika di negara-negara manapun baik itu yang miskin maupun berkembang. Segala permasalahan bisa di generalisir secara sederhana terhadap teori-teori modern ataupun teori pembangunan. Dalam konsensus posmodern, menyatakan bahwa modernitas telah kehilangan kemampuan kritisnya, sehingga ia tidak mampu lagi menemukan tujuan ideologis dan utopis yang ingin di capai.
Wawasan humanis Cartesian yang bersifat sangat mekanistis, dimana rasionalitas dijadikan sebagai ukuran tunggal kebenaran dan mesin di jadikan sebagai paradigma dalam mewujudkan mimpi-mimpi utopis manusia modern akan kekuasaan. Wawasan tersebut penuh dengan paradok, ketika penyanjungan kemampuan akal budi manusia menjadi subjek yang merdeka, maka merupakan awal keterputusan manusia dari Yang Ada.
Heidegger menjelaskan tentang Nietzsche yang dikutip Michel Levin bahwa, “…dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa manusia menjadi pusat dan ukuran dari semua ada (being). Tanpa menghormati bahkan melupakan Yang Ada (kebenaran, kebajikan, eidos, logos, gaia, substansi, esensi, spirit, Tuhan).
Hegel melihat periode modern (new age) adalah periode di mana manusia sebagai subjek, menentukan sendiri landasan nilai dan kriteria-kriteria dalam kehidupannya di dunia, maka manusia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan ilmu pengetahuan sebagai kebenaran ideal.
Kritik modernitas di lontarkan dari dua arah. Yang pertama di sebut kritik diri, sebagaimana yang dilakukan kelompok Frankfurt seperti Adorno, Horkheimer, Marcuse, dan Habermas yang mencari titik kritis modernitas dalam rangka melanjutkan proyek modernitas yang belum rampung. Kedua yang melakukan dekontruksi dengan melupakan dan meruntuhkan modernitas yang di anggap telah kehilangan daya utopisnya. Dibuka oleh Nietzsche dan Heidegger yang kemudian di lanjutkan oleh pemikit posmodern dan postrukturalis seperti Michel Foucault, Gillez Deleuze, Felix Guattari, Jean Franchis Lyotard, Michail Bataille, Jean Baudrillard, Giani Vattimo. Sedangkan pemikir seperti Derrida, Roland Barthes, Julia Kristeva dan Umberto Eco lebih bergerak pada permainan bahasa dan semiotika posmodern.
Kesadaran posmodern adalah suatu kesadaran, di mana pengertian manusia tentang dirinya sendiri dan dunia yang di huninya sangat di tentukan oleh posisi manusia tersebut dalam sejarah di satu tempat dan waktu dan dalam kaitannya dengan landasan mitos dan kebudayaan yang bersifat pluralistik dan primodial.
Strategi intelektual dan kondisi ilmu pengetahuan pada umumnya di dalam era posmodern, sudah saatnya keluar dari jalur grand narrative, jalur strategi intelektual yang mengklaim bahwa ada prinsip-prinsip kebenaran, kesejahteraan, makna hidup, dan moral yang bersifat universal, dan berpencar ke arah narasi kecil dengan segala nilai-nilai mitos, spiritual dan ideologinya yang spesifik.
Posmodern dalam posisinya di dalam modern, berupaya menyajikan sesuatu yang tidak dapat di sajikan di dalam penyajian itu sendiri, yang menolak pesan bentuk-bentuk yang indah, konsensus selera yang memungkinkan pengalaman nostalgia secara kolektif dari hal-hal yang tak terjangakau, yang mencari bentuk-bentuk penyajian baru, tidak untuk menikmatinya, tetapi untuk membangkitkan perasaan ketidak mungkinan penyajian tersebut.
Kapitalisme membangun dan menciptakan model-model hasrat, dan keberlangsungannya sangat bergantung pada keberhasilannya menanamkan model-model ini pada masa yang di eksploitasinya. Dalam kapitalisme mutakhir yang disajikan adalah karnaval bujuk rayu sehingga masa ter eksploitasi menjadi konsumen. Budaya masa seperti yang di jelaskan Adorno dan Benjamin merupakan budaya yang remeh temeh, sesuatu yang sebenarnya tidak perlu menjadi teramat sangat penting, sedangkan masa itu sendiri adalah masa yang diam dalam kesadaran palsu.
Pada waktu yang lalu kita sering mendengar tentang ramalan Naisbit mengenai megatrend Asia, macan-macan Asia, atau Asia renaissance. Utopia ini di berangus oleh permainan ekstasi ekonomi para spekulan mata uang seperti George Soros. Dimana dasar filsafat globalisasi tersebut, apakah dengan upaya pemiskinan negara-negara yang lain yang sedang berkembang seperti itu?.
Semua yang di temukan hanyalah kesemuan, kepalsuan, ksimpang siuran, kepura-puraan dan kebohongan dalam surat kabar, jurnal, televisi, internet dan sebagainya. Masyarakat modern lebih percaya statistik, pertumbuhan GNP, kuantifikasi dan sebagainya padahal semua itu hanyalah deretan angka yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan realitas.
Bagi Adam Smith berspekulasi adalah hak setiap orang dalam upaya mencari keuntungan ekonomi, tetapi ketika ini merupakan bagian dari suatu konspirasi, mafia, atau alat politik, maka seperti senjata virus yang disebarkan dan mempunyai kekuatan penghancur yang dahsyat. Dalam sistem ekonomi pasar bebas, jaringan ekonomi dan moneter realnya dibangun berdasarkan prinsip kebebasan dan keterbukaan, dimana hak-hak individu untuk berusaha dan mencari keuntungan sangat di hargai tanpa ada kendali moral dan etika, maka di dalamnya tidak ada yang dapat menangkal virus spekulasi mata uang para manipulator.
Teori ketergantungan (dependency theory) yang dikemukakan oleh tokoh seperti Frank, Cardoso ataupun Dos Santos semakin tenggelam dalam ekstasi, liberalisasi ekonomi dunia, serta virus kapitalisme yang menjalar secara global. Dana bantuan IMF, justru semakin mengukuhkan ketergantungan ekonomi Asia terhadap negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat. Semakin ketat persyaratan liberalisasi semakin kuat ketergantungan pada sistem ekonomi global. Semakin murah IMF menyuntikkan dananya dengan syarat yang ketat semakin besar utang luar negeri sebagai biang krisis, lalu negara-negara donor tersebut leluasa untuk mengontrol negara-negara berkembang. Menurut Mahatir Muhammad, dalam kondisi terbelit utang, kita justru meminjam dana segar untuk membayar utang tersebut, gali lubang tutup lubang.
Utang luar negeri menjadi semacam kapital mengapung yang mengelilingi dan mengancam ekonomi real, pertumbuhan real. Di bawah bayang-bayang utang mengapung inilah pertumbuhan ekonomi berlangsung. Di bawah utang mengapung ini, ekonomi tumbuh dalam satu kondisi seolah-olah utang itu tidak ada. Materialisme, konsumerisme, hedonisme, jetset, pristise, ekstasi life style mencerminkan sebuah kesejahteraan dalam bayang-bayang utang yang menggerogotinya.
Ketidak setabilan ekonomi tersebut di sebabkan oleh paradigma ekonomi pasar bebas itu sendiri yang rawan terhadap berbagai krisis antara lain: indikator pertumbuhan yang terlalu kuantitatif, GNP sebagai satu-satunya ukuran pembangunan, kompetisi yang sangat individualistis, terbuka lebarnya pintu spekulasi mata uang, permodalan dari utang luar negeri yang terus membengkak, orientasi nilai-nilai konsumerisme, orientasi gaya hidup orang kaya dan selebritis, rendahnya kepedulian terhadap lingkungan, ekonomi sebagai penyaluran segala bentuk hasrat (desire) yang tanpa batas. Hal itu diperparah oleh terlalu dominannya peran mata uang di dalam ekonomi, dominasi dolar, dan uang virtual seperti tranfer dana elektronik dalam sistem perbankan multinasional skala global yang beroperasi 24 jam non stop tanpa bersentuhan dengan realita.
Jean Baudrillard menggambarkan berputarnya uang virtual tersebut layaknya sebuah benda kosmos yang berputar pada sebuah orbit. Uang virtual mengapung megelilingi dunia yang di permainkan di sektor moneter tanpa menyentuh sektor real. Dalam ekonomi virtual uang di produksi, di pertukarkan, di perjual belikan, di transfer, di putar dalam pasar modal tanpa pernah menyentuh ekonomi real (investasi industri, produksi).
Ekonomi virtual yang menandai globalisasi ekonomi menjelang abad 21 pada hakekatnya tak lain dari penciptaan kondisi pluralisme dan liberalisasi kecepatan dan percepatan dalam penetrasi pasar, ekonomi telah berkembang kearah ekonomi percepatan.
Pertumbuhan ekonomi yang telah di capai membuat pemerintah dan pelaku ekonomi suatu negara hanyut dalam keharusan pertumbuhan. Seolah-olah tidak ada batas bagi pertumbuhan, bagi perkembangan. Akibatnya mereka kehilangan kontrol dan tidak mampu melihat titik lemah pertumbuhan. Mereka selalu dihantui mitos dinamika pertumbuhan di dalam dunia tanpa batas. Mitos ini yang menghinggapi Soros yang melihat perubahan yang tak terbatas, diri tak berbatas, nilai-nilai tak berujung, dan dunia tak bertepi sebagai landasan global open society yang dicita-citakan.
Modernisasi tak lagi di bangun oleh pertumbuhan (growth) tetapi oleh perkembang biakan tanpa batas seperti virus atau kanker oleh pertumbuhan yang melampaui. Pertumbuhan terus berlangsung tak terkendali dengan kecepatan tinggi (penggembungan) yang menciptakan masyarakat kegemukan (obesity) informasi, produk, gaya, tontonan, berita dan sebagainya. Dunia mengembang oleh produk-produk banal yang tak ada nilai gunanya, menciptakan dunia yang mubadzir. Modernitas juga berkembang kearah transparansi radikal, kecabulan, tidak ada lagi yang tersembunyi, tidak ada lagi rahasia, apapun di pertontonkan, diperlihatkan dan di tayangkan, tidak ada lagi perbedaan yang tampak dengan yang tersembunyi, tidak ada lagidosa, tidak ada lagi hari pembalasan, bahkan tidak ada lagi Tuhan, yang ada hanya surga ekstasi, keterpesonaan dan transparansi.
Wacana ekonomi global dikendalikan oleh sistem kapitalisme lanjut menjadi sebuah arena sirkuit tempat perlombaan kecepatan (fantasmagoria, dromologi), persaingan, kepanikan (histeria, epilepsi, skizoprenik, nomadensi), dan kegilaan (ekstasi) dipertunjukkan.
Hipermarket menyentralisasikan, mengonsentrasikan dan merasionalisasikan waktu masyarakat secara total. Hipermarket adalah permainan bebas tanda, bujuk rayu, kepalsuan tanda dan kesemuan makna lewat simulasinya. Hipermarket merupakan tempat klon kapital, bukan hanya lalu lintas barang dan jasa, tetapi juga hasrat, libido dan tubuh dipertukarkan dan di komodifikasikan. Hipermarket adalah penyeragaman kebudayaan pragmatis Amerika, yang meskipun bentuknya beraneka ragam namun dengan gagasan dan ideologi kebudayaan yang sama. Pluralitas semu di balik hegemoni ideologi dominan Amerika (neo imperialisme)
Hazel Handerson mengatakan bahwa bila pembaharuan kapitalisme tidak lagi dianggap masuk akal untuk menghadapi kompleksitas yang semakin tinggi, maka suatu terobosan harus di lakukan. Beberapa krisi yang di hadapi kapitalisme global saat ini adalah satu breakdown pada sistem yang menggiring masyarakat global kearah ketidak pastian. Dalam kondisi ini, cukup bijak menghasilkan satu terobosan merubah fondasi sistem ekonomi global. Handerson mengusulkan paradigma greenomics yang berpandangan jauh kedepan dan bersifat beyond economics, dengan ciri sifatnya yang integratif, kualitatif, partisipatif, win win solution, indikator-indikator pembangunan yang menekankan pada tujuan sosial yang khusus, perhatian yang besar terhadap komunitas dan koperasi, investasi yang bertanggung jawab secara sosial, anggaran belanja berimbang dan tabungan, orientasi pada peengembangan diri ketimbang gaya hidup, produk dan konsumsi yang hijau, dan perhatian yang besar terhadap etika dan nilai-nilai.
Namun terobosan Handerson ini tampaknya tak cukup populer, mengingat virus kapitalisme sudah menjalar secara kronis dalam skala global. Untuk mengubahnya perlu political will yang amat berat serta menyangkut harga diri, khususnya bagi negara-negara kaya.
Hampir sama dengan semangat itu Rich DeVos menawarkan satu model kapitalisme yang justru lebih berwajah lemah lembut dan belas kasih yang disebut compassionate capitalism (kapitalisme dengan kepedulian sosial). Walaupun manusia diatur oleh nafsu-nafsu (energi libido) namun ia juga memiliki kemampuan penalaran serta rasa belas kasih yang mengontrol nafsunya dengan kekuatan moral. Laissez faire dapat di artikan walaupun tiap orang bebas bertindak mencari keuntungan, namun hati nurani akan mengontrol segala tindakannya, di dalam diri setiap orang sebenarnya tersimpan dorongan untuk melakukan hal yang baik suatu suara batin. Landasan inilah yang seharusnya kapitalisme di bangun. Landasan moral yang di gambarkan DeVos adalah perasaan simpati yang mendalam terhadap penderitaan orang lain, serta hsrat untuk merenungkan penderitaan tersebut.
Yang terjadi justru sebaliknya, bahwa kapitalisme tersebut menurut Lyotard mengumbar kegairahan untuk memperoleh keuntungan layaknya mucikari yang merubah nafsu menjadi kebutuhan (passionate capitalism). Dia memproduksi rasa kurang dalam skala besar sementara dimana-mana terjadi kelimpah ruahan, memproduksi hwa nafsu sementara diamana-mana terjadi pengumbaran total hawa nafsu atau menurut Jacques Lacan sebagai komodifikasi tubuh. Nafsu itu tak berhingga maka tidak ada demand yang mempu memenuhi hawa nafsu sehingga menciptakan chronos, dari ini, lali ini, kemudian ini, terus ini, ini, ini, ….. Passionate capitalism dalam arti yang lain disebut libidonomics.
Pada tiga dekade yang lalu David McClelland berangan-angan untuk menulari masyarakat modern dengan semacam virus mental yang dinamakan nAch (need for Achiefment) yaitu semacam dorongan dalam diri, yang menimbulkan kebutuhan untuk meraih hasil, prestasi, kemajuan, pertumbuhan ekonomi lebih baik. Tetapi kini virus mental tersebut justru mendorong kearah yang berlawanan, bukan arah prestasi yang lebih baik melainkan kearah konsumsi yang berlebihan (konsumerisme), ekstasi, hiperkomoditi, hipermarket, dan sebagainya.

Kesimpulan
Pembangunan bukan hanya diarahkan, tetapi juga dapat di arahkan dan di pikirkan kembali oleh orang-orang yang terkena dampaknya. Dan karena pelanggarannya, pembangunan dapat dan pasti bisa dihentikan, setidak-tidaknya dari bentuk yang sedang diterapkan sekarang. Semangat posmodern adalah kritik dari insan yang merasakan dampaknya
Demikianlah sejarah pembangunan global dunia. Pembangunan dalam kacamata modernitas dan posmodernitas merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Posmodern bukan berarti menunjukkan penggalan waktu kontemporer saat ini, meskipun intensitasnya memang lebih santer dalam kehidupan saat ini. Di dalam modernitas terdapat jiwa-jiwa posmodernitas, posmodern merupakan evolusi dari modernitas. Posmodernitas merupakan anak dari modernitas, yang satu, masih berusaha mengabdi pada orang tuanya (aliran rekontruksi), dan yang lain ber “durhaka” terhadap orang tuanya dengan idealismenya (aliran dekontruksi).
Kemanakah kita harus menghanyutkan aliran pembangunan prekonomian kita, ketika kehidupan global ini semakin ekstrem?. Kehidupan modern begitu pula pembangunan telah menggiring ke arah berbagai krisis yang kita alami. Modernisasi telah kehilangan daya kritisnya, utopia awalnya. Apakah kita sampai pada kematian modernisasi?
Bila kita mengacu pada Baudrillard, kehidupan yang sarat paradok dan ironi ini, kita tidak menerima, tidak menolak, tidak mengkritik, tidak menyanjung, tidak berbuat apa-apa, tetapi hanyut dalam ekstasi. Peduli amat dengan krisis!. Inilah dunia yang fatal yang menurut Nietzsche “nihil.”
Atau kita mengadakan semacam eksperimen sosial, bila dalam biologi terdapat rekayasa genetika, dalam ilmu sosial mengadakan rekayasa sosial. Menciptakan prinsip, norma, aturan baru lewat pembaharuan, sebagai akibat perkembangan ekonomi. Selain berkembangnya ekonomi dan teknologi sebagi sarana pembangunan itu sendiri dengan berpijak pada komponen normatif masyarakat yang terus dikembangkan mengikutinya.
Atau kita mengikuti jejak Soros dengan membangun masyarakat yang leluasa dalam kebebasan individu, kebebasan geografis, kebebasan intervensi, dan kebebasan nilai. Sehingga kita lupakan konsep negara, bangsa dan kebudayaan.
Atau kita coba menggali spirit lama akan kearifan leluhur yang selama ini ditelan modernisasi. Misalnya tentang komunitas, gotong royong, koperasi, dan spiritualitas. Bukankah krisis yang kita hadapi sekarang ini karena kita semakin jauh dan melupakan warisan nilai-nilai luhur kita ?.
Atau kita bisa petik pelajaran dari fragmen-fragmen alternatif tersebut untuk di ramu menjadi sebuah sistem sosial ekonomi posmodern yang di bangun dengan semangat ekletik dan sinkretik dengan lebih bersifat fleksibel, konformis dan adaptif?. Apapun penilaian dan pilihan anda.


Daftar Pustaka

Amir Piliang, Yasraf, 2004, Dunia Yang Berlari; Mencari Tuhan-Tuhan Digital, PT Grasindo, Jakarta.
Amir Piliang, Yasraf, 2004, Dunia Yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta.

Amir Piliang, Yasraf, 2003, Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta.

Amir Piliang, Yasraf, 2004, Posrealitas; Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta.

Dari Descartes sampai Chico Mendes: Sejarah Singkat Modernitas sebagai Pembangunan, http://members.fortunecity.com/edicahy/mte/bab8.html

Erwin Edhi Prasetya, Menggugat Konsep Kemakmuran,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/04/sorotan/1792651.html

I Gede Mudana, Globalisasi-Lokalisasi Kebudayaan Bali,
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/7/8/op4.htm

Darsono, Konflik Ideologi,
http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2002-October/000405.html

FX Adji Samekto, Pembangunan Berkelanjutan,
http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2002-September/000213.html

1 comment:

Arif Burhan said...

sangat komprehensif bung, tulisan anda. menyapa pembangunan dari dua kacamata "modernitas dan posmo".
perkenankan saya copy buat murid2 saya.