Saturday, April 14, 2007

Era Post Ekonomi dan Mekanisme Survival Masyarakat Miskin

oleh
Priyo Sudarmanto

Wacana ekonomi global saat ini adalah sistem ekonomi yang dikendalikan oleh sistem ekonomi kapitalis lanjut yang menjadi sebuah arena tempat perlombaab kecepatan, persaingan, kepanikan dan kegilaan digelar. Bagaimana tidak, semua lokus kehidupan manusia dapat disulap menjadi komoditas atau dikomodifikasi yang juntrungannya adalah penumpukan kapital.
Kapitalisme awal melihat kemajuan dari ukuran seberapa besar ruang (pasar, teritori) dapat dikuasai dalam satuan waktu tertentu, pada kapitalisme global dewasa ini, ia lebih diukur dari kecepatan itu sendiri. Paradigma kapitalisme tak pelak juga menginvasi kehidupan kontemporer sosial, ekonomi, politik dan budaya. Iklan-iklan dalam televisi merupakan fantasmagoria yang muncul dan menghilang dalam kecepatan tinggi yang merayu manusia dalam kegilaan histeria gaya hidup. Trend life stile dengan banalnya silih berganti cepat berubah yang menawarkan sebuah kebaruan.
Kapitalisme global terperangkap dalam arus percepatan (dromos) dimana kecepatan menjadi ciri kemajuan sehingga ia membentuk kemajuan-kemajuan dalam tempo tinggi. Percepatan tersebut berupa percepatan kembalinya modal, membiaknya kapital, dan larisnya konsumsi.
Kecepatan kapital itu kini dikendalikan oleh kecepatan elektronik yang mendekati kecepatan cahaya, yaitu implosi dimana manusia bersama wahananya tidak lagi menjelajahi teritori dengan cara ekspansi, melainkan teritori-teritori yang telah dikuasai tadi justru meledak kedalam mengerumuni manusia layaknya sebuah magnet melalui simulasi elektronik. Manusia sekarang telah kelebihan informasi, dijajah produk, dihujami iklan-iklan, dibujuk rayu, konsumen yang statis, diam dan monoton membebek pada panoptikon.
Bukan hanya produsen yang berlomba-lomba mencari mangsa pasar baru untuk mengkloning kapitalnya, tetapi juga konsumen yang di setting untuk selalu mengkonsumsi sampai pada titik terjauh. Kebutuhan sekarang bukan melulu primer, skunder dan tersier, tetapi melampaui kebutuhan alami tersebut yang lebih mirip hasrat dan libido yang entah sampai dimana tapal batasnya, selalu menjadi link terhadap kebutuhan yang lain, yang baru dan seterusnya tanpa henti. Bila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi yang terjadi kemudian adalah chaos, kepanikan akan ketinggalan zaman, ketinggalan tren mode, kerugian kapital dan sebagainya. Kegiatan tersebut kemudian menjadi ekstasi, kemabukan dan kegilaan terhadap konsumsi, produksi, tren, gaya, modal ataupun kapital.
Jika pada waktu lalu konsumsi sebagai satu proses menghabiskan atau mentransformasikan nilai-nilai yang tersimpan dalam sebuah objek. Konsumsi dapat dipandang sebagai proses menggunakan atau mendekontruksi tanda-tanda yang terkandung dalam objek-objek para konsumer dalam rangka menendai relasi-relasi sosial (status, prestise dan simbol-simbol pemakainya). Sekarang konsumsi dapat juga dipandang sebagai fenomena bawah sadar (unconscious) psikoanalis, dimana konsumsi sebagai proses produksi hasrat dan reproduksi pengalaman bawah sadar yang bersifat primordial. Konsumsi adalah substitusi atau pengganti dari kesengan yang hilang tersebut.
Didalam masyarakat konsumer relasi subjek dan objek lebih tepat dijelaskan melalui peran subjek sebagai konsumer. Pemisahan dan alienasi Marx semakin kehilangan makna karena selepas penat bekerja seseorang dapat menghanyutkan diri dalam ekstasi konsumsi, hiburan dan tontonan konsumerisme. Sebagai konsumer ia menginternalisasi apa yang diciptakan orang lain. Kondisi ini menyebabkan filsafat Cartesian yang melekat pada Marx maupun Hegel “cogito ergo sum” atau berfikir karena aku ada, semakin kehilangan makna dan bermutasi menjadi aku mengkonsumsi, karenanya aku ada.
Budaya konsumerisme adalah ditandai dengan konsumsi skizoprenik, mengkonsumsi bukan sekedar menhabiskan nilai guna atau nilai utilitas tetapi juga menkomunikasikan makna-makna tertentu. Menurut Baudrillard kita tidak lagi mengontrol objek tetapi dikontrol objek. Objek konsumsi semakin kompleks tetapi siklus percepatan dan tempo pergantiannya semakin cepat. Konsumsi bukan lagi makna-makna ideologis yang dicari melainkan kegairahan dan ekstasi pergantian objek-objek. Logika yang mendasari bukan lagi logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat (desire) seperti halnya hawa nafsu seksual yang imajiner atau bawah sadar lapangan psikoanalis. Konsumer skizoprenik menciptakan komodifikasi chronos (ini lalu ini lalu ini lalu ini) sampai titik terjauh.
Revolusi yang diciptakan konsumerisme adalah hipermarket yang ditandai dengan berkembangnya mall, plaza, shopping centre, TV shopping, teleshopping, E-businnes yang telah mendekontruksi konsep-konsep tentang pasar, ruang, waktu, belanja dan transaksi.
Hipermarket adalah permainan bebas tanda yang bukan penyampaian makna dan kebenaran tanda melainkan bujuk rayu lewat kepalsuan tanda dan kesemuan makna, topeng simulasi yang menampilkan ilusi dan seolah-olah realitas. Hipermarket telah memperangkap konsumen dalam janji-janji hadiah dan rayuan mega bonus.
Hipermarket bukan hanya tempat lalu lintas barang dan jasa tetapi juga hasrat libido segala aspek kehidupan kapital seperti politik, seks, olah raga, pendidikan, kebugaran, tubuh, keamanan, bahkan kematian dapat dikomersialisasikan. Demokrasi atau kebebasan memilih citra, tanda, dan gaya ditemntukan oleh elit, menjerat manusia dalam kekuasaan pasar, mensimulasi kebutuhan yang semakin beragam, digiring dalam dunia karnaval tanda, jutaan pesan-pesan. Hipermarket menciptakan semacam penyeragaman budaya ketimbang penganekaragaman budaya. Meskipun bentuknya beraneka ragam, namun dimuati dengan gagasan dan ideologi kebudayan yang sama, sebuah neo imperialisme kebudayaan yaitu McDonaldinasi.
Kehidupan masyarakat konsumer hampir seluruh energinya dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu, nafsu kebendaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan, kesenangan, sementara hanya menyisakan sedikit ruang bagi penajaman hati, kebijaksanaan, kesalehan dan pencerahan spiritual.
Ekonomi kapitalis merupakan ekonomi bujuk rayu tau ekstasi ekonomi, ekonomi ekstasi adalah sebuah sistem ekonomi dan kehidupan pada umumnya yang melepaskan diri dari kriteria struktural oposisi biner moral/ amoral, baik/ buruk, nilai guna/ nilai tukar, yang disebut juga ekonomi libido yang memanfaatkan potensi kesenangan dan gairah yang tersimpan dalam diri tanpa takut akan tabu dan adat, gunakan dan pertontonkan sebebas-bebasnya keindahan penampilan, kepribadian, wajah, dan tubuh untuk membangkitkan gairah perputaran modal.
Uang dengan cepat kehilangan maknanya sebagai sistem ukuran bagi produksi dan nilai di dunia nyata. Dimanipulasi oleh para politisi dan bank sentral, dan kini dipercepat oleh tranfer dana elektronik…. Uang kini semakin tidak bersentuhan dengan realitas.
Wajah perekonomian global sekarang telah berkembang menjadi lebih bersifat virtual yang emu bagai fatamorgana, menginfeksi dan menjalar bagai virus dan mengapung berputar secara global bagaikan mengikuti sebuah orbit.
Valuta asing, bursa saham, transfer dana, credit card, dan ATM telah merubah model uang konvensional, sistem ekonomi digiring pada sentralistik narasi agung kapitalisme. Teori-teori ketergantungan yang dikembangakn Frank, Cardoso, maupun Dos Santos seolah-olah tenggelam di dalam ekstasi liberalisasi ekonomi dunia serta virus kapitalisme yang menjalar secara global.
Utang luar negeri menjadi layaknya satelit bumi, menjadi sekumpulan kapital mengapung, yang tak henti-hentinya mengelilingi dan mengancam ekonomi real, pertumbuhan real. Dibawah bayang-bayang orbit utang mengapung ini sebuah pertumbuhan ekonomi berlangsung dengan seolah-olah utang itu tidak ada. Sedangkan masyarakat sendiri dijangkiti oleh virus materialisme, konsumerisme dan hedonisme yang tentunya secara tidak sadar untuk mensuport kapitalisme.
Analisa ekonomi politik tidak lagi menanamkan landasan diskursusnya pada prinsip-prinsip ekonomi atau politik sebagaimana yang dibayangkan Marx ketika menganalisis ekonomi politik kapitalis. Sebab ekonomi global saat ini berjalan berdasarkan logikanya sendiri, yaitu logika pasar, logika libido, logika simulasi. Wacana ekonomi global dilandasi oleh logika permainan (spekulasi).
Kapitalisme membangun dan menciptakan model-model hasrat, dan keberlangsungannya sangat bergantung pada keberhasilan menanamkan model-medel ini pada masa yang dieksploitasi. Dengan begitu kapitalisme disebut juga sistem ekonomi libido (libidonomics). Kapitalisme global tidak lagi berkaitan dengan ekspansi kapital, teritorial, dan pasar namun lebih berkaitan dengan ekspansi arus libido dan perkembangbiakan getaran nafsu.
Ekonomi tidak lagi sekedar berkaitan dengan kegiatan pensdistribusian barang-barang hasil produksi dalam satu arena pertukaran ekonomi akan tetapi berkaitan dengan produksi, distribusi, pertukaran, transaksi dan konsumsi apapun termasuk pengetahuan, pendidikan, moralitas, etiket, tubuh, wajah, kegairahan, ekstasi. Libidonomics yaitu pendistribusian rangsangan, rayuan, godaan, kesenangan, kegairahan atau hawa nafsu dalam satu arena pertukaran ekonomi. Ekonomi kini berada dalam arena seksual, di dalam politik, di dalam komunikasi. Sebaliknya, seksual, politik, komunikasi, pendidikan berada di dalam jagad ekonomi.
Ditengah keserakahan, arogansi, egoisme, dan monopolisme kapitalis, Rich DeVos menawarkan model kapitalisme dengan kepedulian sosial. Ia menggali dari pemikiran Adam Smith bahwa walaupun manusia diatur oleh hawa nafsu energi libido, namun mereka juga memiliki kemampuan penalaran atas rasa belas kasih.
Adam Smith menganjurkan persaingan bebas, sebab persaingan bebaslah yang membuat kapitalisme berjalan. Laissez faire “biarkan orang bertindak sendiri” mencari keuntungan, mengumpulkan kekayaan, kepemilikan pribadi, kesuksesan usaha, dan pada akhirnya kemakmuran bangsa. Namun, setiap orang harus menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan panggilan hati nurani akan kebaikan dan perbuatan mulia. Tetapi semua itu hanya idealisme yang utopis karena kapitalisme global saat ini telah terperangkap oleh kecepatan operasionalnya sendiri.
Persaingan bebas dianjurkan dengan didomplengi cara-cara bebas pula, segala strategi, taktik dan semua trik persaingan, lewat iklan, bujuk rayu, iming-iming, erotisme, komodifikasi tubuh yang telah meluluhkan nurani, moral dan sosial. Apapun dijadikan komoditi mulai kepribadian, kebugaran, penampilan, tubuh, wajah, kaki, tenaga dalam, jin, ramalan, skandal, gosip, isu, bencana alam, perang, bahkan kematian.
Kebutuhan sekarang ini adalah selalu sesuatu yang dirasa kurang dalam dirinya atau sesuatu yang hilang. Nafsu kapitalisme bertujuan memproduksi tanpa henti rasa kurang dalam skala besar, sementara dimana-mana terdapat kelimpah ruahan, memproduksi tanpa henti hawa nafsu, sementara dimana-mana terjadi pengumbaran total hawa nafsu.
Menurut Jacques Lacan kebutuhan adalah energi murni organik sedangkan nafsu adalah energi aktif yang berkaitan dengan proses psikis yang mengarahkan persepsi tentang kesenangan atau tidak menyenangkan, maka tidak ada demand yang dapat memenuhi hawa nafsu. Nilai guna suatu barang dalam pengertian juissance/ kenikmatan yang ditawarkan di dalam nafsu kapitalisme yaitu kemampuan barang itu untuk dihubungkan dengan mesin hawa nafsu di dalam pasar bebas yang menuntut pemuasan selanjutnya yang tanpa akhir.
David McCleland menawarkan sebuah konsep n Ach (need for Achievement) untuk masyarakat modern yang dapat menimbulkan dorongan diri, motivasi, prestasi, kemajuan dan pertumbuhan ekonomi. Namun kini virus mental tersebut justru mendorong kearah yang berlawanan, kearah konsumerisme, ekstasi, komodifikasi dan hipermarket.
Sedangkan J. F. Lyotard mengemukakan bahwa di dalam analisis ekonomi politik kapitalis mutakhir, apa yang tampak dari diskursus ekonomi adalah pengaturan lalu lintas ekonomi lewat model mucikari yang menghasilkan uang dari kegairahan.
Demikianlah raut muka kehidupan perekonomian global saat ini yaitu prinsip ekonomi pasar yang dibangun oleh komoditi dan mekanisme pasar yang telah berkembang sedemikian rupa secara berlebihan dan ekstrim, sehingga melampaui batasan komoditi dan pasar itu sendiri (post ekonomi).

* * *

Mungkin bagi sebagian orang-orang kaya epidemi kapitalisme tidak menjadi masalah. Gemerlapnya kehidupan glamour, jet set, hedonisme, dan materialisme dapat dengan mudah mereka akses. Dengan tanpa beban merogoh koceknya, menhambur-hamburkan uangnya hanya untuk sesuatu yang banal. Namun lain ceritanya apabila orang-orang miskin yang dihujami serangan kapitalisme.
Orang-orang miskin saat ini dihadapkan pada suatu iring-iringan mesin kapitalisme yang menyeruak di segal sendi kehidupan yang kemudian membujuk mereka untuk mengikuti mekanisme mesin kapitalisme tersebut, menjadi korban dari kapitalisme tersebut. Sekarang ini banyak dijumpai orang-orang miskin yang memaksakan diri menjadi orang kaya, orang-orang miskin yang menghamba pada tren life style, orang-orang miskin yang konsumerisme dan justru tidak membawa mereka kepada kemajuan perekonomiannya tetapi menjadi budak-budak kapitalis yang digerogoti perekonomiannya.
Walaupun mungkin diklaim masih sebatas wacana, kapitalisme telah membuat orang-orang miskin mencari jalan lain untuk dapat terus berpartisipasi dalam iring-iringan mesin kapitalisme. Bagaimanapun juga kapitalisme telah berada dalam segala aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali. Tidak ada yang tidak dapat dijelaskan aspek kehidupan mana yang diinfiltrasi oleh kapitalisme.
Dalam segmen ini dijelaskan berbagai bentuk strategi ataupun bisa disebut mekanisme dalam mensiasati kehidupan perekonomian orang-orang miskin yang secara tidak langsung juga terdapat kontribusi dari jerat kapitalisme, walaupun kapitalisme bukan variabel satu-satunya.
Orang-orang yang lemah secar ekonomi atau miskin biasanya sangat dependen pada sumber kredit non institusional dari pada lembaga keuangan formal. Hal ini disebabkan oleh lemahnya akses orang miskin terhadap lembaga keuangan formal. Sedangkan lembaga keuangan formal lebih berorientasi profit khas kapitalisme yang tentunya lebih pro orang-orang kaya dan memandang sebelah mata orang-orang miskin yang berlindung dibalik jargon bahwa akuntabilitas dan kredibilitas orang-orang kurang mampu yang meragukan, sama sekali nol atau tidak ada. Lembaga keuangan formal lebih tertarik mencairkan kreditnya kepada pengusaha-pengusaha besar dari pada pengusaha-pengusaha kecil.
Oleh karena itu kemudian orang-orang kurang mampu itu putar haluan mendekati kepada lintah darat untuk berhutang. Rentenir yang notabene juga antek kapitalis tentu saja hanya memikirkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pinjaman yang dikeluarkannya. Maka semakin terjeratlah mereka pada lingkaran kemiskinan. Bagaimana mereka mengembalikan hutang yang membengkak dan terus dikejar-kejar tenggang waktu atau ditagih juga dengan cara berhutang pada rentenir yang lain, gali lubang tutup lubang, keluar dari mulut singan masuk ke mulut buaya dan seterusnya.
Ketidak formalan adalah suatu jalan atau cara dalam menghadapi atau untuk tetap survive, hal ini lahir dari kegagaln sistem formal. Ketiadaan atau ketidak mampuan institusi dalam menyerap tenaga kerja membuat sebagian orang yang kurang beruntung menciptakan lapangan kerja sendiri, wiraswasta atau enterpreneurship. Pada masa kini institusi perusahaan lebih menerapkan sistem kontrak dimana tenaga kerja dibatasi oleh masa kontrak dalam kerjanya. Setelah kontrak itu habis maka tenaga kerja tersebut harus kembali pada nol lagi, mencari kerja lagi, habis masa kontarak, mencari lagi, dan seterusnya berulang-ulang. Tentu saja institusi perusahaan tidak memikirkan tentang kesejahteraan, bagaimana nasib tenaga kerja tersebut berikutnya setelah kontraknya habis, yang dipikirkan hanyalah pencapaian keuntungan setinggi-tingginya modal atau kapital.
Orang-orang yang kurang mampu dan tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan kemudian akan beralih pada pelayanan kesehatan alternatif. Bila obat resep doketer terlalu mawahl bagi mereka untuk menebusnya maka jamu tradisional dapat menjadi obat yang murah meriah. Bila dokter spesialis terlalu mahal bagi mereka maka paranormal atau dukun dapat dijadikan alternatif.
Begitu pula dengan jasa pendidikan, ketika pendidikan dikapitalisasikan maka yang terjadi adalah merkantilisme pendidikan. Semakin tidak tergapai pendidikan oleh orang-orang kurang mampu maka mereka beralih pada model pendidikan pesantren tradidional, masuk pada sekolah-sekolah negeri yang kualitasnya pas-pasan walaupun ada kecenderungan untuk mengkapitalisasikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi negeri.
Untuk tetap survive perekonomiannya, orang-orang dengan perekonomian lemah bisa mencukupi perekonomian lokalnya sendiri dengan bisnis kecil-kecilan seperti berjualan secara eceran, barter, penekanan pada hubungan pribadi atau koneksi pertemanan. Walaupun dengan hasil yang pas-pasan namun sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara dagang kecil-kecilan dengan relasi bisnis yang didasari oleh hubungan pribadi yang saling percaya.
Kesulitan perekonomian membuat mereka lebih selektif dalam membelanjakan uangnya. Mereka harus membelanjakan uangnya untuk hal-hal yang benar-benar urgen. Apa yang dibelanjakan bukan hanya sekedar menimbulkan kepuasan batin tetapi harus memiliki nilai guna yang kontinu, dalam pengertian barang yang dibeli dapat digunakan untuk keperluan produksi. Misalnya seorang ibu rumah tangga membeli panci ukuran besar, dia bertujuan selain untuk keperluan memasak sendiri sehari-hari tetapi juga dapat untuk bisnis cathering sebagai wujud home industry. Mereka hanya membeli barang yang benar-benar diperlukan sehingga barang yang telah dibeli tidak sia-sia teronggok tersimpan rapi di rumah.
Orang-orang miskin akan selalu tanpa pikir panjang mengocok utang baru dalam mengkonsumsi. Kalaupun sedang memiliki uang mereka hanya menyimpan uangnya dalam celengan dan bukan di bank. Sebagai penghematan mereka biasa mendatangi toko-toko bekas atau loakan untuk mencari barang yang mereka butuhkan. Mereka harus dihadapkan pada kemampuan mengorganisir kebutuhannya dengan melokalisir minat terhadap suatu barang, menimbang-nimbang dahulu sebelum membeli, mencari tempat yang paling murah dalam membeli.
Belajar dari tetangga sekitar adalah hal yang baik, orang-orang ekonomi lemah biasa bermukim pada daerah-daerah slum yang kumuh, walaupun terkadang antar tetangga sering terjadi konflik namun biasanya mereka saling membantu, bergotong royong dalam memperbaiki lingkungan, memiliki rasa kekeluargaan, saling mengunjungi dan ikatan komunal yang kuat. Sering dari mereka meminjam barang milik tetangga untuk keperluannya karena mereka tidak memiliki barang tersebut. Begitu pula sebaliknya, tetangga juga sering meminjam barang milik mereka. Meminjam adalah lebih baik dari pada membeli yang harus mengeluarkan uang. Walaupun sering terlihat pula antar mereka saling berlomba-lomba dalam memiliki suatu barang. Ketika tetangga membeli televisi baru maka mereka juga ikut-ikutan membeli televisi baru. Namun pada dasarnya mereka harus bisa memperhitungkan barang mana yang lebih perlu untu dibeli dengan berkaca pada tetangga sebelah sehingga barang yang debeli tersebut tidak sia-sia percuma dan sebaliknya justru dapat berdaya guna, misalnya untuk mendukung proses produksi lokal contohnya lemari es dapat dijadikan pendukung bisnis berjualan es kecil-kecilan.
Orang-orang kecil biasa lebih mendatangi warung-warung tegal, warung kopi kecil sebagai tempat untuk melepas penat, menghabiskan hari, berekreasi, berkumpul dengan sesama, berinteraksi dan sebagainya dari pada tempat-tempat seperti caffe, bar, restaurant atau warung-warung besar lainnya. Mereka juga lebih sering mendatangi warung kecil, toko kecil atau pasar-pasar tradisional dalam berbelanja dari pada super market, mall ataupun plaza karena lebih terjangkau secara finansial.
Mereka juga dihadapkan pada situasi penjualan kembali sumber daya berharga terutama ketika masa-masa sulit, terbelit urtang, anak atau orang tua yang sedang sakit memerlukan berobat atau kebutuhan akan uang yang mendesak lainnya. Mereka sering menjual barang-barang berharga mereka ketika ada kebutuhan mendesak, mereka juga menggadaikan barang-barangnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang terkadang tidak bisa menebus kembali.
Pada keluarga ekonomi lemah yang memiliki pekarangan kecil atau tanah lahan tidur biasa di daya gunakan untuk menanam sayuran, buah-buahan, atau tanaman obat untuk keperluan internal keluarga dan bila memungkinkan dapat dijual ke pasar. Mereka bercocok tanam dengan sistem tumpang sari dimana satu lahan ditanami berbagai jenis tanaman sehingga hasilnya lebih banyak variannya. Dibandingkan makan makanan hasil industri atau pabrik lebih baik makan makanan hasil sendiri agar dapat mempertahankan hidup. Jeruk hasil memetik dari kebun belakang rumah tidak kalah nikmat rasanya dengan jeruk import yang ada di supermarket-supermarket. Mereka juga biasa menitipkan atau menjual barang-barang hasil produksi sendiri pada warung-warung atau depot-depot di dekat rumahnya. Contohnya menjual dengan cara menitipkan kerupuk hasil olahan sendiri pada warung atau depot tetangga ataupun warung orang lain di sekitar rumahnya.
Orang-orang kecil terutama pemuda dan remajanya biasanya berkumpul dengan sesamanya mengisi waktu senggang, berekreasi dengan memainkan musik dari alat musik sederhana seperti galon air dan diiringi gitar akustik dengan syair-syair kritik sosial, fatalistis dan apatis. Dekorasi rumah yang juga sedemikian rupa, tanaman-tanaman hias diletakkan pada jambangan-jambangan kecil di halaman rumah karena terbatasnya lahan, tempat tidur terbuat dari anyaman dari pada dipan spring bed, membeli barang-barang secara kredit dan harus berlari kencang dalam memenuhi tagihan rekening, mereka juga biasa memiliki usaha kue kering dan toko roti di sudut lorong kampung. Warung-warung kopi adalah etalase tempat ruang pamer dari hasil produksi rumah tanggannya, mereka juga sering melakukan puasa agar pengeluarannya tidak terlalu banyak.
Untuk menghemat konsumsi mereka rakyat kecil biasanya membeli makanan dengan mutu yang rendah sehingga kualitas gizi dan kesehatanpun juga rendah. Rakyat miskin biasa membeli pakaian-pakaian bekas di pasar-pasar loak dan lagi pula pakaian-pakaian tersebut biasanya digunakan secara bergantian oleh anggota keluarga lainnya. Mereka membatasi pengeluaran untuk kesehatan dan biaya pendidikan, pola makan yang hanya satu atau dua kali dalam sehari. Orang-orang ini mencari nafkah dengan terpaksa bekerja berjam-jam lebih panjang dari pada keluarga yang lain yang lebih beruntung. Para wanita dan anak-anakpun juga terpaksa bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Mereka juga menjual barang-barang kepemilikan pribadinya secara tunai untuk mendapatkan dana segar walaupun dengan setengah harga lebih murah yang justru merugikannya. Lebih parahnya lagi mereka harus meminta-minta menjadi pengemis dan para wanitanya melacurkan diri.
Banyak juga dari mereka yang membangun tempat perlindungan atau rumah untuk berteduh secar tidak syah, menyerobot lahan kosong, lahan tak bertuan, milik orang lain ataupun milik pemerintah sehingga dikemudian hari menjadi sengketa maka protes dan demo menjadi jalan untuk mempertahankan diri. Para buruh-buruh kecilpun juga biasa protes dan demo untuk mempertahankan haknya, menuntut upah yang lebih tinggi yang kadang diikuti dengan cara-cara anarkhis. Sedangkan rumah-rumah ilegalnya tersebut juga menyadap listrik.
Model ketidak formalan ekonomi atau ekonomi informal menjadi mekanisme pilihan. Koneksi keluarga membantu rumah tangga miskin dalam memperoleh tempat perlindungan, pengaman sosial, dan memperoleh pekerjaan. Sanak saudara menjadi jalan untuk mencari pinjaman dana ketika dibelit kesulitan ekonomi begitu pula dengan nepotisme dalam mencari kerja. Banyak dari pencari kerja yang sebenarnya menggunakan jasa orang-orang dalam saudaranya sendiri. Para orang-orang miskin ini harus bisa mengembangkan flesibilitas dan kepandaian yang bermacam-macam dalam mensiasati kesulitan perekonomian. Mereka juga harus dapat mengencangkan ikat pinggang, mredusir kebutuhan agar pengeluarannya tidak terlalu banyak
Apa yang termaktub dalam puisi Muhammad Mahdi adalah bernada fatalistis yang pasrah menjadi bentuk mekanisme survival, “Para Dewa makanan menjaga kamu yang lapar maka tidurlah, tidurlah ketika kamu tidak enak badan, tidur jadi lebih mungkin untuk melindungi hak dan kebenaran.” Dari sempalan syair tersebut tidur menjadi jalan untuk tetap survive dari tekanan kemiskinan. Begitu pula dengan tertawa atau bercanda dalam suatu kumpul-kumpul antar sesama menjadi kiat jitu untuk melepas penat dan derita dari tekanan ekonomi.
Kemiskinan dituduh menjadi penyebab utama dari permasalahan lingkungan, penebangan hutan. Pengerukan sumber daya alam merupakan strategi dari masyarakat miskin, namun tidak dapat divonis bahwa satu-satunya penyebab adalah masyarakat miskin karena sebenarnya mereka hanya menjadi korban dari struktur mesin kapitalisme diatasnya.
Pada dasarnya strategi adaptif yang digunakan tiap individu adalah yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialaminya. Kemampuan untuk memilih, merubah dan menyesuaikan adalah metacognitive. Strategi harus dapat berjalan efektif. Tiap-tiap individu memiliki strategi yang berbeda-beda disebabkan keadaan luar adaptifasnya.
Masih banyak lagi model-model mekanisme survival atau strategi adaptif yang lain dan tidak dapat semuanya dibahas didalam artikel ini. Namun paling tidak bahwa diberlakukannya kapitalisme global semakin membuat orang-orang miskin berada dalam keterpurukan.


DAFTAR PUSTAKA
Anti-Consumerism and The Alternate Economy
Asef Bayat, Cairo's Poor: Dilemmas of Survival and Solidarity
Alexandre Marc & Zeynep Kudatgobilik, Poverty and Informality in South East Europe

Dr. Naresh Singh, Building Social Capital Through Micro-Finance: A Perspective on the Growth of Micro-Finance Sector with Special Reference to India

Faiza Farooq Swati, Mobilizing political will to address poverty, environment issues

Kristen D. Schunna & Lynne M. Reder, Strategy Adaptivity and Individual Differences

Shahen Rafi Khan dan Killen Damian, Poverty and Environment: From pure survival to subsistence and beyond; Asif Zaidi dan Usman Iftikhar, Poverty Reduction and Human Capital: Poverty Environment Nexus

Some examples of all The Alternative Economy in action

Yasraf Amir Piliang, 2004, Dunia Yang Dilipat: Tamaasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta.

Yasraf Amir Piliang, 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta.

Yasraf Amir Piliang, 2004, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra, Yogyakarta


No comments: